Logic Think Atheis
Pandangan Kaum Atheis
disadari atau pun tidak telah memperangkap kebanyakan orang dalam paradigma kaum Atheis yang menolak keberadaan
agama, Tuhan dan ajarannya. Dalam ini saya mencoba untuk kembali
mendiskusikan konsep dan pemikiran tersebut dengan kejernihan dan ketajaman
berpikir kita. Dalam pembahasan ini diharapkan akan timbul kesadaran pembaca
akan kekeliruan dalam cara pandang dan pola berpikir selama ini.
Berikut sedikit penjelasan mengenai kekeliruan ATEIS menurut Islamic Science Group (ISG)
1. Manusia, Makhluk yang Lemah
Dalam diri manusia terdapat suatu potensi yang disebut akal atau rasio. Akal berfungsi untuk berpikir, dalam rangka mendapatkan pengetahuan dan mencari kebenaran. Mencari kebenaran merupakan hasrat manusiawi, sebagai makhluk yang berakal. Guna mendapatkan pengetahuan dan kebenaran tersebut, dalam diri manusia juga dilengkapi perangkat yang namanya panca indera berupa mata, telinga, hidung, kulit dan lidah. Dengan panca indera ini manusia berusaha untuk menangkap fenomena alam dan lingkungan, yang kemudian akan ditransfer ke dalam akal untuk diolah menjadi sebuah pengetahuan. Dengan proses menangkap fenomena alam oleh panca indera dan menstranfer ke dalam akal, secara menerus itulah, manusia berusaha untuk mencari kebenaran. Namun panca indera yang digunakan untuk mengenali dan menangkap fenomena alam dan lingkungan ini memiliki keterbatasan dan kelemahan. Mata misalnya, hanya dapat melihat pada jarak tertentu saja dan menginformasikan dengan benar apa yang dilihatnya. Tetapi diluar jarak yang mampu dilihatnya itu, mata tak mampu melihat obyek secara tepat, sehingga yang diinformasikan ke dalam akal pun pengetahuan yang keliru. Terhadap obyek yang cukup jauh mata tak mampu melihat secara tepat, seperti melihat gunung dalam jarak yang jauh seolah berwarna biru, melihat laut seolah berwarna biru, melihat dua garis sejajar (rel kereta api) seolah bertemu pada satu titik, melihat pinsil yang dimasukkan sebagian ke dalam air di ember seolah patah dan masih banyak lagi contoh lainnya. Telinga dalam fungsinya sebagai indera pendengar, juga memiliki keterbatasan. Telinga hanya mampu mendengarkan suara dengan frekuensi tertentu saja. Pada suara yang sangat lemah ataupun suara yang sangat keras, telinga tak dapat berfungsi dan menginformasikannya pada akal. Dan sering informasi yang ditangkappun keliru ketika ditransfer ke akal. Demikian pula indera-indera lainnya memiliki keterbatasan dan kelemahan. Padahal panca indera inilah yang diandalkan untuk memberikan masukan pengetahuan pada akal/otak untuk dianalisis dan disimpulkan menjadi suatu kebenaran. Akal atau rasio manusia yang digunakan untuk berpikir, mengolah informasi mengenai fenomena alam dan lingkungan yang diberikan oleh panca indera ternyata juga memiliki keterbatasan dan kelemahan. Memang dengan akal manusia bisa mengolah informasi, membentuk pengertian-pengertian, pendapat-pendapat, kesimpulan- kesimpulan suatu pengetahuan. Tetapi pengetahuan yang mampu didapatkan sebatas pada informasi yang diberikan oleh panca indera (yang sering keliru), dan kemampuan berpikirnya juga sebatas pengalaman-pengalaman yang pernah didapatnya. Kalaupun berpikir untuk sebuah idea dan gagasan baru, tetap terbatas pada abstraksi yang mampu dibentuknya yang sifatnya subyektif. Sehingga belum tentu bisa diterima orang lain dan komunitas lainnya. Maka kebenaran yang didapatnya adalah kebenaran yang subyektif, kebenaran yang relative sifatnya. Tidak bisa dijadikan sebagai pedoman. Emmanuel Kant (1724-1804) dalam bukunya yang terkenal Critic der Theoritische Vernunft, mengakui akan keterbatasan akal manusia. Dia menandaskan bahwa penyelidikan dengan akal (budi) benar-benar dapat memberikan sesuatu pengetahuan mengenai dunia yang tampak, akan tetapi akal (budi) itu sendiri tidak sanggup untuk membeikan kepastian-kepastian, dan bahwa berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan terdalam mengenai Tuhan, manusia, dunia, dan akhirat, akal (budi) manusia itu tidak mungkin memperoleh kepastian-kepastian, melainkan hidup dalam pengandaian.
2. Kelemahan Teori-teori Filsafat Barat
Teori dan konsep filsafat barat yang telah mempengaruhi cara pandang dan pola berpikir kebanyakan orang selama ini juga terdapat banyak kelemahannya. Marilah kita coba bahas teori dan konsep yang ada pada bab satu secara rinci sebagai berikut:
a. Klarifikasi atas Pandangan Marx
Menurut Marx, agama sebagai candu masyarakat. Dalam pandangan Marx, agama seperti candu, ia memberikan harapan-harapan semu, dapat membantu orang untuk sementara waktu melupakan masalah real hidupnya. Seorang yang sedang terbius oleh candu/opium dengan sendirinya akan lupa dengan diri dan masalah yang sedang dihadapinya. Bagi Marx, agama juga merupakan medium dari ilusi sosial. Agama tidak berkembang karena ada kesadaran dari manusia akan pembebasan sejati, tetapi lebih karena kondisi yang diciptakan oleh orang-orang yang memiliki kuasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Propaganda agama yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dipandang oleh Marx sebagai sikap meracuni masyarakat. Pernyataan Marx bahwa agama sebagai candu masyarakat, muncul tatkala dia mengamati realitas empiris di sekitarnya pada saat itu, dimana orang beragama dan melakukan ritualitas karena menghindari realitas hidup yang dihadapinya dan agama mampu meninabobokan para penganut agama tersebut. Juga masalah penyebaran agama yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama untuk melanggengkan kekuasaan bisa dimaklumi, karena memang demikian kenyataan saat itu. Dan ini terjadi pada agama Kristiani, yang menjadi fokus kritik Marx pada fungsi politik agama, khususnya yang menjadikan agama sebagai ideologi Negara. Agama telah dijadikan alat pukul oleh Negara untuk membungkam para pemeluknya yang memprotes sikap otoriter para pemimpin politik dan ekonomi Prussia.
Pandangan Marx tersebut tak bisa digunakan untuk menggeneralisir semua agama. Juga keterbatasan kemampuan Marx dalam memahami tentang agama secara hakekat, maksud dan tujuan-lah yang mengantarkannya pada pengetahuan tersebut.
b. Materi Bukan Segalanya
Materialisme menganggap segala yang ada adalah materi. Unsur pokok, dasar dan hakekat segala sesuatu yang ada itu materi. Materi adalah suatu yang abadi, tidak diciptakan dan ada dengan sendirinya. Materi adalah awal dan akhir kehidupan. Paham materialisme menganggap pikiran, gagasan dan idea merupakan hasil dari kerja materi. Pada akhirnya paham materialisme mengingkari keberadaan agama dan Tuhan. Pandangan yang menyatakan bahwa segala yang ada materi adalah sebuah kekeliruan. Dalam diri manusia sendiri, disamping adanya materi juga ada unsur non materi yang mampu menggerakkan tubuh materinya. Yang membuat tubuh materi tersebut hidup. Dan ketika manusia meninggal, ada sesuatu yang lepas dari tubuh materinya. Lalu bagaimana materialisme memandang sesuatu (yang non materi) yang lepas dari tubuh tersebut?
Dalam kehidupannya, manusia juga dihadapkan berbagai hal yang non materi. Energi listrik yang mampu menggerakkan peralatan elektronik, yang terdiri dari elektronelektron bersifat gelombang tak bisa dikatakan sebagai materi. Energi tersebut
kenyataannya ada, dan manusia tak pernah dapat menangkapnya secara langsung. Masih banyak lagi dalam dunia ini “sesuatu” yang bukan materi. Dus anggapan bahwa segala sesuatu adalah materi tidak lah tepat. Dan teori materialisme tak bias dijadikan dasar pengetahuan akan sebuah kebenaran.
c. Berpikir Tak Dapat “mengadakan” Sesuatu
Apa yang dikatakan Rene Descartes yaitu “cogito ergo sum” yang artinya aku berpikir, maka aku ada, bukanlah bermakna bahwa dengan berpikir mampu “mengadakan” sesuatu. Hakekat berpikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban. Maka dengan berpikir akan didapat suatu pengetahuan, suatu kepahaman, kesadaran akan adanya sesuatu. Berpikir bukanlah bisa mengadakan sesuatu tetapi hanya bisa menyadari keberadaan sesuatu. Kenyataannya sejumlah benda yang ada di sekitar kita, baik kita pikirkan maupun tidak, tetaplah ada. Dan suatu benda yang tak ada, tak akan pernah diwujudkan hanya dengan sekedar berpikir. Terhadap sesuatu yang tidak nyata, yang kemudian kita pikirkan adanya hanyalah dalam abstraksi pada pikiran kita. Anggapan bahwa Tuhan pada kepercayaan orang-orang beragama, hanyalah hasil rekayasa pikiran, adalah sebuah kesalahan. Jika Tuhan merupakan hasil rekayasa pikiran, betapa hebatnya pemilik pikiran tersebut yang mampu merekayasa adanya Tuhan. Dan seseorang akan merekayasa sejumlah Tuhan sesuai keinginannya. Jika pemilik pikiran tersebut mengalami kematian, Tuhan pun akan ikut mati. Maka untuk peran apakah Tuhan direkayasa? Demikianlah, sesungguhnya pikiran manusia tidak akan pernah menjangkau hakekat keberadaan Tuhan. Apalagi merekayasa atau menciptakan Tuhan, kecuali hanyalah Tuhan-tuhan illutif dan Tuhan-tuhan semu.
d. Skeptisisme Kaum Atheis
Perkembangan pemikiran manusia baik perorangan maupun masyarakat, menurut Comte, melalui tahapan zaman teologi, metafisi dan positif. Pada zaman positif yang ditandai dengan kemajuan dan perkembangan sains dan teknologi, manusia sudah tidak lagi membutuhkan kepercayaan, agama maupun Tuhan, karena seluruh persoalan telah mampu diatasi dengan sains dan teknologi itu sendiri. Pandangan demikian jauh dari kenyataan. Tahapan-tahapan secara keilmuan, bisa saja terjadi perkembangan pemikiran manusia, namun masalah kepercayaan, agama dan Tuhan, tak sepenuhnya hilang dari
pemikiran mereka, meski berusaha mereka ingkari. Masyarakat komunis yang anti Tuhan, yang menolak keberadaan Tuhan pun tak sepenuhnya bisa menghilangkan akan perasaan akan adanya Tuhan. Mereka sendiri sebetulnya skeptis (meragukan) akan apa yang dipahaminya tentang ketiadaan Tuhan. Bahkan pada saat-saat tertentu, mereka masih berharap adanya kekuatan-kekuatan di luar dirinya (mistis) yang bisa menolongnya. Dan pernyataan “God is dead” adalah lontaran dari kesombongan ilmiah, kesombongan intelektualitas yang menyesatkan, yang sebenarnya merupakan pengingkaran akan hati nurani sendiri.
3. Kelemahan Teori-teori Kebenaran
Sebagai makhluk yang mencari kebenaran, manusia dengan potensi akalnya akan terus berusaha untuk menemukan hakekat kebenaran. Namun pengetahuan hanya mengantarkan pada kebenaran-kebenaran yang subyektif. Kebenaran-kebenaran yang secara teoritis merupakan hasil temuan ilmiah yang sebetulnya memiliki banyak kelemahan, yang bisa kita diskusikan berikut ini :
a. Kelemahan Teori Koherensi
Teori kebenaran ini banyak dianut oleh kaum idealis, menurut mereka sesuatu yang disebut benar itu adalah yang benar menurut idea dan dalam idea tanpa memperhatikan fakta. Plato mengatakan bahwa yang disebut kuda yang sebenarnya adalah kuda yang ada dalam idea. Sedangkan kuda menurut kenyataan dan yang nyata adalah bayangan dari kuda yang ada dalam idea. Dari pernyataan Plato ini lalu timbul pertanyaan “Plato yang sebenarnya itu ada dalam idea siapa?”, mengingat dari teorinya sendiri menyatakan bahwa Plato yang ada adalah bayangan dari Plato yang ada dalam idea (pikiran). Filosof Britania Bradley (1864 -1924) sebagai penganut idealisme menyatakan bahwa kebenaran itu tergantung pada orang yang menentukan tanpa harus memandang realitas peristiwa, asalkan dalam pikiran itu ada, jika pikiran itu tidak ada maka apapun yang ada di dunia ini tidak ada. Padahal orang yang berakal sehat akan mengatakan bahwa setiap yang ada di luar manusia, berpikir atau tidak berpikir kalau zat/sesuatu tersebut memang ada, maka akan tetap ada.
b. Kelemahan Teori Korespondensi
Sesuatu itu benar jika sesuai dengan fakta, atau dapat dikaji dengan fakta. Ternyata dalam realitasnya tidak semua masalah dapat dikaji berdasarkan fakta. Misalnya aliran listrik yang mengalir dalam suatu penghantar yang faktanya dapat dirasakan berupa gejala-gejala listrik yang ditimbulkannya (aliran listrik) akan tetapi hal yang sesungguhnya berupa gerakan-gerakan electron yang tidak dapat dilihat, dibaui, didengar atau bahkan dirasakannya bukan gerakan-gerakan yang sesungguhnya itu hanya ada dalam pikiran. Begitu juga cinta, tidak dapat dikaji dengan fakta akan tetapi yang dapat dikaji dengan fakta-fakta hanyalah akibat atau gejala dari cinta itu.
c. Kelemahan Teori Pragmatisme
Sesuatu dianggap benar jika bermanfaat, teori ini bagaimana kalau diterapkan
terhadap pernyataan “Menyontek sewaktu ujian” dan ” Mencuri” serta “Narkoba”, apakah ketiga hal tersebut merupakan kebenaran? Kalau ya, kenapa setiap siswa/mahasiswa ujian selalu dijaga ketat, dan jika ketahuan ada yang menyontek diberika sangsi? Lalu mencuri. Apakah dengan mencuri yang mana hasil dari curian tersebut sangat bermanfaat bagi si pencuri itu juga dapat dikatakan benar? Kemudian dengan keberadaan narkoba (narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya) apakah juga dibenarkan oleh akal sehat dan diterima oleh setiap orang?
4. Kelemahan Metode Ilmiah
Untuk bisa mendapatkan kebenaran ilmiah, harus dilakukan melalui metode ilmiah. Kebenaran seperti apa yang dihasilkan dari metode ilmiah? Sebetulnya kalau kita mau cermati, maka metodologi ilmiah itu sendiri memiliki kelemahan bahkan sangat lemah untuk bisa digunakan mencari hakekat kebenaran. Dalam metodologi ilmiah, harus memenuhi persyaratan empiris, obyektif, rasional dan sistematis. Empiris berarti suatu kebenaran berdasarkan pengalaman yang dapat ditangkap dengan pancaindra, dan dapat dibuktikan. Padahal sebagaimana dalam uraian mengenai kelemahan panca indra kita yang tak pernah mampu berfungsi terhadap seluruh obyek dan mampu menangkap dengan tepat apa yang dilihat, didengar dan
dirasakan. Maka pengetahuan sebagai hasil dari pengalam berdasarkan panca indera, tak sepenuhnya benar. Obyektif berarti suatu kebenaran harus mengandung nilai obyektifitas, berdasarkan fakta yang menjadi obyek pengetahuan, bukan berdasarkan yang menilai atau yang mengamati (subyek-nya). Dalam kenyataannya, banyak pengetahuan yang dijadikan sebagai kebenaran hanya atas asumsi dan dugaan sementara dari orang perorang. Jadi kebenaran tersebut sebenarnya bersifat subyektif, yang belum tentu dapat diterima orang lain. Rasional berarti kebenaran tersebut bersumber dari akal (rasio) atau pikiran manusia, dimana pengalaman-pengalaman hanya sebagai perangsang bagi pikiran. Kebenaran demikian merupakan kesimpulan dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dan menjadi pengetahuan dalam akal manusia. Namun pada realitasnya banyak kebenaran yang tidak masuk diakal, yang tidak rasional, namun diikuti oleh banyak orang dan dijadikan sebagai sebuah kebenaran. Sistematis berarti berurutan, yakni dalam menemukan kebenaran harus melalui proses yang berurutan. Sistematis sebagai sebuah metode bisa menjadi keharusan, namun tahapan yang dikerjakan secara berurutan itu belum tentu sebagai kebenaran yang hakiki. Berdasakan uraian dan penjelasan tersebut diatas, maka metodologi ilmiah sebagai cara untuk menemukan kebenaran tidak bisa untuk dijadikan patokan secara mutlak. Kebenaran yang didapat dari metodologi ilmiah sebatas kebenaran yang relative, bahkan terkadang tidak konsisten dengan persyaratan ilmiah itu sendiri.
5. Teori Asal Usul Kehidupan dan Evolusi Darwin
Uraian mengenai asal usul kehidupan yang penulis kemukakan dalam bab satu, merupakan hasil dari sebuah kajian dan penelitian ilmiah. Maka dengan mengetahui akan kelemahan metode ilmiah tersebut, kita tak bisa menjadikan teori-teori asal usul kehidupan diatas sebagai pengetahuan yang benar.. Dalam kebenaran ilmiah senantiasa terjadi perubahan dan pembaharuan manakala ada hasil temuan dan penelitian lainnya yang dapat menumbangkan teori pengetahuan sebelumnya. Inilah sifat kebenaran ilmiah. Kebenaran teori-teori tersebut bersifat relative. Teori Darwin tentang evolusi sudah banyak yang menyanggah. Telah terbukti ketidakbenarannya. Dalam teorinya mengenai evolusipun tak memperoleh data lengkap. Ada mata rantai yang terputus (missing link}. Demikianlah, teori evolusi Darwin ini juga tak bisa dijadikan sebuah pengetahuan yang benar. Harun Yahya mengupas cukup dalam tentang tipudaya teori evolusi Darwin ini dalam bukunya “Allah is Known Through Reason” yang diterjemahkan Muhammad Shodiq, S. Ag. Menurut Harun, teori evolusi adalah suatu filosofi dan konsepsi dunia yang menghasilkan suatu keasalahan hipotesis, asumsi dan scenario khayalan dengan tujuan menjelaskan keberadaan dan asal-usul kehidupan dengan hanya secara kebetulan. Filosofi ini berakar jauh di zaman lalu sekuno Yunani-kuno. Ide khayal Darwin dianut dan dikembangkan oleh kalangan ideologis dan politis tertentu dan teorinya menjadi sangat populer. Alasan utamanya adalah bahwa tingkat pengetahuan saat itu belum memadai untuk menyingkapkan bahwa skenario imajinasi Darwin itu sala. Ketika Darwin mengajukan asumsinya, disiplin ilmu genetika, mikrobiologi, dan biokimia belum ada. Jikalau ada, Darwin mungkin dengan mudah mengenali bahwa teorinya tidak ilmiah sama sekali, dan sehingga takkan ada yang berusaha mengajukan pernyataan omong kosong tersebut, informasi yang menentukan spesies telah ada dalam gen dan seleksi alamiah tidak mungkin menghasilkan spesies baru dengan mengubah gen. Pada masa bergaungnya buku darwin, ahli botani Austria yang bernama Gregor Mendel menemukan kaidah pewarisan sifat di tahun 1865. Meskipun kurag dikenal hingga akhir abad itu, penemuan Mendel menjadi sangat penting awal 1900-an dengan lahirnya ilmu genetika. Beberapa waktu kemudian, struktur gen dan kromosom itemukan. Pada 1950-an, penemuan molekul DNA, yang menghimpun informasi genetik, menempatkan teori evolusi pada krisis yang hebat, karena keluarbiasaaan informasi dalam DNA, tidak mungkin diterangkan sebagai kejadian kebetulan. Selauin semua perkembangan ilmiah ini, tidak ada bentuk-bentuk transisi, yang diduga menunjukkan evolusi organisme hidup secara bertahap dari yang primitif menuju spesies yang maju, yang pernah ditemukan walaupun dengan pencarian bertahun-tahun.
6. Existensi Tuhan
Kebenaran yang dicapai dengan melalui ilmu pengetahuan maupun filsafat hanya kebenaran yang bersifat subyektif, kebenaran yang bersifat relative bukan kebenaran yang hakiki. Karena perangkat yang digunakan untuk mencapai kebenaran tersebut diatas memiliki keterbatasan dan kelemahan. Panca indera dan akal manusia memiliki keterbatasan untuk mencapai pada kebenaran yang hakiki. Dengan mengakui relativitas manusia sebagai bagian dari alam, akan membawa konsekuensi logis, sesuatu yang tidak relative, yang berada “di luar” alam. Jadi “Ada” sesuatu sebelum dan sesudah adanya alam. Ada sesuatu yang tak terjangkau panca indera dan akalnya, “sesuatu” itulah yang mengawali dan mengakhiri kehidupan ini. “Sesuatu” yang memiliki super power, yang menciptakan alam semesta beserta isinya, yang mengelola dan mengatur ciptaannya. Terhadap “sesuatu” itu, orang menyebutnya dengan “Tuhan”. Banyaknya suku, bangsa, aliran, kepercayaan dan agama menimbulkan banyaknya konsepsi akan ketuhanan dari masing-masing komonitas. Untuk melakukan pendekatan akan pengetahuan mengenai Tuhan yang hakiki, kita perlu mengenal karakteristik dari Tuhan yang bisa diakui secara obyektif, sebagai kebenaran universal. Dari uraian bab sebelumnya dan pembahasan mengenai kelemahan ilmu pengetahuan dan filsafat, kita telah ketahui pengetahuan akan kebenaran yang dihasilkannya adalah subyektif, sifatnya relative. Maka Tuhan dalam arti sebenarnya tentu tidak memiliki sifat relative, Tuhan yang tidak terjangkau, yang tidak dikenal dengan akal pikiran manusia. Dia memiliki sifat Mutlak. Mutlak dalam segala kehendak dan perbuatannya. Siapapun tak ada yang dapat mempengaruhi kehendaknya, mempengaruhi perbuatannya, mempengaruhi keputusan-keputusannya. Karakteristik demikian disebut Absolut (mutlak). Karena karakternya mutlak, maka Dia tentu berbeda dengan keberadaan makhluknya. Tak ada sesuatu yang dapat menyerupainya. Menyerupai dalam seluruh sifat, dzat, kehendak dan perbuatannya. Karakteristik demikian disebut Distinct yang artinya berbeda. Karena Tuhan berbeda dengan yang lain, maka Dia juga memiliki karakter yang lain yaitu khas atau unique, artinya tak ada sesuatu yang menyamainya. Demikianlah, Tuhan dalam arti yang sebenarnya memiliki karakter Absolut (mutlak), Distinc (berbeda dengan lainnya) dan Unique (tak ada yang menyamainya). Inilah karakteristik Tuhan yang sebenarnya. Untuk mengenal existensi Tuhan, yang patut kita imani perlu kita teliti dan cermati, dengan cara menganalisis agama atau kepercayaan Ketuhanan yang ada, apakah memenuhi karakteristik Tuhan sebagaimana di atas.
Dalam diri manusia terdapat suatu potensi yang disebut akal atau rasio. Akal berfungsi untuk berpikir, dalam rangka mendapatkan pengetahuan dan mencari kebenaran. Mencari kebenaran merupakan hasrat manusiawi, sebagai makhluk yang berakal. Guna mendapatkan pengetahuan dan kebenaran tersebut, dalam diri manusia juga dilengkapi perangkat yang namanya panca indera berupa mata, telinga, hidung, kulit dan lidah. Dengan panca indera ini manusia berusaha untuk menangkap fenomena alam dan lingkungan, yang kemudian akan ditransfer ke dalam akal untuk diolah menjadi sebuah pengetahuan. Dengan proses menangkap fenomena alam oleh panca indera dan menstranfer ke dalam akal, secara menerus itulah, manusia berusaha untuk mencari kebenaran. Namun panca indera yang digunakan untuk mengenali dan menangkap fenomena alam dan lingkungan ini memiliki keterbatasan dan kelemahan. Mata misalnya, hanya dapat melihat pada jarak tertentu saja dan menginformasikan dengan benar apa yang dilihatnya. Tetapi diluar jarak yang mampu dilihatnya itu, mata tak mampu melihat obyek secara tepat, sehingga yang diinformasikan ke dalam akal pun pengetahuan yang keliru. Terhadap obyek yang cukup jauh mata tak mampu melihat secara tepat, seperti melihat gunung dalam jarak yang jauh seolah berwarna biru, melihat laut seolah berwarna biru, melihat dua garis sejajar (rel kereta api) seolah bertemu pada satu titik, melihat pinsil yang dimasukkan sebagian ke dalam air di ember seolah patah dan masih banyak lagi contoh lainnya. Telinga dalam fungsinya sebagai indera pendengar, juga memiliki keterbatasan. Telinga hanya mampu mendengarkan suara dengan frekuensi tertentu saja. Pada suara yang sangat lemah ataupun suara yang sangat keras, telinga tak dapat berfungsi dan menginformasikannya pada akal. Dan sering informasi yang ditangkappun keliru ketika ditransfer ke akal. Demikian pula indera-indera lainnya memiliki keterbatasan dan kelemahan. Padahal panca indera inilah yang diandalkan untuk memberikan masukan pengetahuan pada akal/otak untuk dianalisis dan disimpulkan menjadi suatu kebenaran. Akal atau rasio manusia yang digunakan untuk berpikir, mengolah informasi mengenai fenomena alam dan lingkungan yang diberikan oleh panca indera ternyata juga memiliki keterbatasan dan kelemahan. Memang dengan akal manusia bisa mengolah informasi, membentuk pengertian-pengertian, pendapat-pendapat, kesimpulan- kesimpulan suatu pengetahuan. Tetapi pengetahuan yang mampu didapatkan sebatas pada informasi yang diberikan oleh panca indera (yang sering keliru), dan kemampuan berpikirnya juga sebatas pengalaman-pengalaman yang pernah didapatnya. Kalaupun berpikir untuk sebuah idea dan gagasan baru, tetap terbatas pada abstraksi yang mampu dibentuknya yang sifatnya subyektif. Sehingga belum tentu bisa diterima orang lain dan komunitas lainnya. Maka kebenaran yang didapatnya adalah kebenaran yang subyektif, kebenaran yang relative sifatnya. Tidak bisa dijadikan sebagai pedoman. Emmanuel Kant (1724-1804) dalam bukunya yang terkenal Critic der Theoritische Vernunft, mengakui akan keterbatasan akal manusia. Dia menandaskan bahwa penyelidikan dengan akal (budi) benar-benar dapat memberikan sesuatu pengetahuan mengenai dunia yang tampak, akan tetapi akal (budi) itu sendiri tidak sanggup untuk membeikan kepastian-kepastian, dan bahwa berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan terdalam mengenai Tuhan, manusia, dunia, dan akhirat, akal (budi) manusia itu tidak mungkin memperoleh kepastian-kepastian, melainkan hidup dalam pengandaian.
2. Kelemahan Teori-teori Filsafat Barat
Teori dan konsep filsafat barat yang telah mempengaruhi cara pandang dan pola berpikir kebanyakan orang selama ini juga terdapat banyak kelemahannya. Marilah kita coba bahas teori dan konsep yang ada pada bab satu secara rinci sebagai berikut:
a. Klarifikasi atas Pandangan Marx
Menurut Marx, agama sebagai candu masyarakat. Dalam pandangan Marx, agama seperti candu, ia memberikan harapan-harapan semu, dapat membantu orang untuk sementara waktu melupakan masalah real hidupnya. Seorang yang sedang terbius oleh candu/opium dengan sendirinya akan lupa dengan diri dan masalah yang sedang dihadapinya. Bagi Marx, agama juga merupakan medium dari ilusi sosial. Agama tidak berkembang karena ada kesadaran dari manusia akan pembebasan sejati, tetapi lebih karena kondisi yang diciptakan oleh orang-orang yang memiliki kuasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Propaganda agama yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dipandang oleh Marx sebagai sikap meracuni masyarakat. Pernyataan Marx bahwa agama sebagai candu masyarakat, muncul tatkala dia mengamati realitas empiris di sekitarnya pada saat itu, dimana orang beragama dan melakukan ritualitas karena menghindari realitas hidup yang dihadapinya dan agama mampu meninabobokan para penganut agama tersebut. Juga masalah penyebaran agama yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama untuk melanggengkan kekuasaan bisa dimaklumi, karena memang demikian kenyataan saat itu. Dan ini terjadi pada agama Kristiani, yang menjadi fokus kritik Marx pada fungsi politik agama, khususnya yang menjadikan agama sebagai ideologi Negara. Agama telah dijadikan alat pukul oleh Negara untuk membungkam para pemeluknya yang memprotes sikap otoriter para pemimpin politik dan ekonomi Prussia.
Pandangan Marx tersebut tak bisa digunakan untuk menggeneralisir semua agama. Juga keterbatasan kemampuan Marx dalam memahami tentang agama secara hakekat, maksud dan tujuan-lah yang mengantarkannya pada pengetahuan tersebut.
b. Materi Bukan Segalanya
Materialisme menganggap segala yang ada adalah materi. Unsur pokok, dasar dan hakekat segala sesuatu yang ada itu materi. Materi adalah suatu yang abadi, tidak diciptakan dan ada dengan sendirinya. Materi adalah awal dan akhir kehidupan. Paham materialisme menganggap pikiran, gagasan dan idea merupakan hasil dari kerja materi. Pada akhirnya paham materialisme mengingkari keberadaan agama dan Tuhan. Pandangan yang menyatakan bahwa segala yang ada materi adalah sebuah kekeliruan. Dalam diri manusia sendiri, disamping adanya materi juga ada unsur non materi yang mampu menggerakkan tubuh materinya. Yang membuat tubuh materi tersebut hidup. Dan ketika manusia meninggal, ada sesuatu yang lepas dari tubuh materinya. Lalu bagaimana materialisme memandang sesuatu (yang non materi) yang lepas dari tubuh tersebut?
Dalam kehidupannya, manusia juga dihadapkan berbagai hal yang non materi. Energi listrik yang mampu menggerakkan peralatan elektronik, yang terdiri dari elektronelektron bersifat gelombang tak bisa dikatakan sebagai materi. Energi tersebut
kenyataannya ada, dan manusia tak pernah dapat menangkapnya secara langsung. Masih banyak lagi dalam dunia ini “sesuatu” yang bukan materi. Dus anggapan bahwa segala sesuatu adalah materi tidak lah tepat. Dan teori materialisme tak bias dijadikan dasar pengetahuan akan sebuah kebenaran.
c. Berpikir Tak Dapat “mengadakan” Sesuatu
Apa yang dikatakan Rene Descartes yaitu “cogito ergo sum” yang artinya aku berpikir, maka aku ada, bukanlah bermakna bahwa dengan berpikir mampu “mengadakan” sesuatu. Hakekat berpikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban. Maka dengan berpikir akan didapat suatu pengetahuan, suatu kepahaman, kesadaran akan adanya sesuatu. Berpikir bukanlah bisa mengadakan sesuatu tetapi hanya bisa menyadari keberadaan sesuatu. Kenyataannya sejumlah benda yang ada di sekitar kita, baik kita pikirkan maupun tidak, tetaplah ada. Dan suatu benda yang tak ada, tak akan pernah diwujudkan hanya dengan sekedar berpikir. Terhadap sesuatu yang tidak nyata, yang kemudian kita pikirkan adanya hanyalah dalam abstraksi pada pikiran kita. Anggapan bahwa Tuhan pada kepercayaan orang-orang beragama, hanyalah hasil rekayasa pikiran, adalah sebuah kesalahan. Jika Tuhan merupakan hasil rekayasa pikiran, betapa hebatnya pemilik pikiran tersebut yang mampu merekayasa adanya Tuhan. Dan seseorang akan merekayasa sejumlah Tuhan sesuai keinginannya. Jika pemilik pikiran tersebut mengalami kematian, Tuhan pun akan ikut mati. Maka untuk peran apakah Tuhan direkayasa? Demikianlah, sesungguhnya pikiran manusia tidak akan pernah menjangkau hakekat keberadaan Tuhan. Apalagi merekayasa atau menciptakan Tuhan, kecuali hanyalah Tuhan-tuhan illutif dan Tuhan-tuhan semu.
d. Skeptisisme Kaum Atheis
Perkembangan pemikiran manusia baik perorangan maupun masyarakat, menurut Comte, melalui tahapan zaman teologi, metafisi dan positif. Pada zaman positif yang ditandai dengan kemajuan dan perkembangan sains dan teknologi, manusia sudah tidak lagi membutuhkan kepercayaan, agama maupun Tuhan, karena seluruh persoalan telah mampu diatasi dengan sains dan teknologi itu sendiri. Pandangan demikian jauh dari kenyataan. Tahapan-tahapan secara keilmuan, bisa saja terjadi perkembangan pemikiran manusia, namun masalah kepercayaan, agama dan Tuhan, tak sepenuhnya hilang dari
pemikiran mereka, meski berusaha mereka ingkari. Masyarakat komunis yang anti Tuhan, yang menolak keberadaan Tuhan pun tak sepenuhnya bisa menghilangkan akan perasaan akan adanya Tuhan. Mereka sendiri sebetulnya skeptis (meragukan) akan apa yang dipahaminya tentang ketiadaan Tuhan. Bahkan pada saat-saat tertentu, mereka masih berharap adanya kekuatan-kekuatan di luar dirinya (mistis) yang bisa menolongnya. Dan pernyataan “God is dead” adalah lontaran dari kesombongan ilmiah, kesombongan intelektualitas yang menyesatkan, yang sebenarnya merupakan pengingkaran akan hati nurani sendiri.
3. Kelemahan Teori-teori Kebenaran
Sebagai makhluk yang mencari kebenaran, manusia dengan potensi akalnya akan terus berusaha untuk menemukan hakekat kebenaran. Namun pengetahuan hanya mengantarkan pada kebenaran-kebenaran yang subyektif. Kebenaran-kebenaran yang secara teoritis merupakan hasil temuan ilmiah yang sebetulnya memiliki banyak kelemahan, yang bisa kita diskusikan berikut ini :
a. Kelemahan Teori Koherensi
Teori kebenaran ini banyak dianut oleh kaum idealis, menurut mereka sesuatu yang disebut benar itu adalah yang benar menurut idea dan dalam idea tanpa memperhatikan fakta. Plato mengatakan bahwa yang disebut kuda yang sebenarnya adalah kuda yang ada dalam idea. Sedangkan kuda menurut kenyataan dan yang nyata adalah bayangan dari kuda yang ada dalam idea. Dari pernyataan Plato ini lalu timbul pertanyaan “Plato yang sebenarnya itu ada dalam idea siapa?”, mengingat dari teorinya sendiri menyatakan bahwa Plato yang ada adalah bayangan dari Plato yang ada dalam idea (pikiran). Filosof Britania Bradley (1864 -1924) sebagai penganut idealisme menyatakan bahwa kebenaran itu tergantung pada orang yang menentukan tanpa harus memandang realitas peristiwa, asalkan dalam pikiran itu ada, jika pikiran itu tidak ada maka apapun yang ada di dunia ini tidak ada. Padahal orang yang berakal sehat akan mengatakan bahwa setiap yang ada di luar manusia, berpikir atau tidak berpikir kalau zat/sesuatu tersebut memang ada, maka akan tetap ada.
b. Kelemahan Teori Korespondensi
Sesuatu itu benar jika sesuai dengan fakta, atau dapat dikaji dengan fakta. Ternyata dalam realitasnya tidak semua masalah dapat dikaji berdasarkan fakta. Misalnya aliran listrik yang mengalir dalam suatu penghantar yang faktanya dapat dirasakan berupa gejala-gejala listrik yang ditimbulkannya (aliran listrik) akan tetapi hal yang sesungguhnya berupa gerakan-gerakan electron yang tidak dapat dilihat, dibaui, didengar atau bahkan dirasakannya bukan gerakan-gerakan yang sesungguhnya itu hanya ada dalam pikiran. Begitu juga cinta, tidak dapat dikaji dengan fakta akan tetapi yang dapat dikaji dengan fakta-fakta hanyalah akibat atau gejala dari cinta itu.
c. Kelemahan Teori Pragmatisme
Sesuatu dianggap benar jika bermanfaat, teori ini bagaimana kalau diterapkan
terhadap pernyataan “Menyontek sewaktu ujian” dan ” Mencuri” serta “Narkoba”, apakah ketiga hal tersebut merupakan kebenaran? Kalau ya, kenapa setiap siswa/mahasiswa ujian selalu dijaga ketat, dan jika ketahuan ada yang menyontek diberika sangsi? Lalu mencuri. Apakah dengan mencuri yang mana hasil dari curian tersebut sangat bermanfaat bagi si pencuri itu juga dapat dikatakan benar? Kemudian dengan keberadaan narkoba (narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya) apakah juga dibenarkan oleh akal sehat dan diterima oleh setiap orang?
4. Kelemahan Metode Ilmiah
Untuk bisa mendapatkan kebenaran ilmiah, harus dilakukan melalui metode ilmiah. Kebenaran seperti apa yang dihasilkan dari metode ilmiah? Sebetulnya kalau kita mau cermati, maka metodologi ilmiah itu sendiri memiliki kelemahan bahkan sangat lemah untuk bisa digunakan mencari hakekat kebenaran. Dalam metodologi ilmiah, harus memenuhi persyaratan empiris, obyektif, rasional dan sistematis. Empiris berarti suatu kebenaran berdasarkan pengalaman yang dapat ditangkap dengan pancaindra, dan dapat dibuktikan. Padahal sebagaimana dalam uraian mengenai kelemahan panca indra kita yang tak pernah mampu berfungsi terhadap seluruh obyek dan mampu menangkap dengan tepat apa yang dilihat, didengar dan
dirasakan. Maka pengetahuan sebagai hasil dari pengalam berdasarkan panca indera, tak sepenuhnya benar. Obyektif berarti suatu kebenaran harus mengandung nilai obyektifitas, berdasarkan fakta yang menjadi obyek pengetahuan, bukan berdasarkan yang menilai atau yang mengamati (subyek-nya). Dalam kenyataannya, banyak pengetahuan yang dijadikan sebagai kebenaran hanya atas asumsi dan dugaan sementara dari orang perorang. Jadi kebenaran tersebut sebenarnya bersifat subyektif, yang belum tentu dapat diterima orang lain. Rasional berarti kebenaran tersebut bersumber dari akal (rasio) atau pikiran manusia, dimana pengalaman-pengalaman hanya sebagai perangsang bagi pikiran. Kebenaran demikian merupakan kesimpulan dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dan menjadi pengetahuan dalam akal manusia. Namun pada realitasnya banyak kebenaran yang tidak masuk diakal, yang tidak rasional, namun diikuti oleh banyak orang dan dijadikan sebagai sebuah kebenaran. Sistematis berarti berurutan, yakni dalam menemukan kebenaran harus melalui proses yang berurutan. Sistematis sebagai sebuah metode bisa menjadi keharusan, namun tahapan yang dikerjakan secara berurutan itu belum tentu sebagai kebenaran yang hakiki. Berdasakan uraian dan penjelasan tersebut diatas, maka metodologi ilmiah sebagai cara untuk menemukan kebenaran tidak bisa untuk dijadikan patokan secara mutlak. Kebenaran yang didapat dari metodologi ilmiah sebatas kebenaran yang relative, bahkan terkadang tidak konsisten dengan persyaratan ilmiah itu sendiri.
5. Teori Asal Usul Kehidupan dan Evolusi Darwin
Uraian mengenai asal usul kehidupan yang penulis kemukakan dalam bab satu, merupakan hasil dari sebuah kajian dan penelitian ilmiah. Maka dengan mengetahui akan kelemahan metode ilmiah tersebut, kita tak bisa menjadikan teori-teori asal usul kehidupan diatas sebagai pengetahuan yang benar.. Dalam kebenaran ilmiah senantiasa terjadi perubahan dan pembaharuan manakala ada hasil temuan dan penelitian lainnya yang dapat menumbangkan teori pengetahuan sebelumnya. Inilah sifat kebenaran ilmiah. Kebenaran teori-teori tersebut bersifat relative. Teori Darwin tentang evolusi sudah banyak yang menyanggah. Telah terbukti ketidakbenarannya. Dalam teorinya mengenai evolusipun tak memperoleh data lengkap. Ada mata rantai yang terputus (missing link}. Demikianlah, teori evolusi Darwin ini juga tak bisa dijadikan sebuah pengetahuan yang benar. Harun Yahya mengupas cukup dalam tentang tipudaya teori evolusi Darwin ini dalam bukunya “Allah is Known Through Reason” yang diterjemahkan Muhammad Shodiq, S. Ag. Menurut Harun, teori evolusi adalah suatu filosofi dan konsepsi dunia yang menghasilkan suatu keasalahan hipotesis, asumsi dan scenario khayalan dengan tujuan menjelaskan keberadaan dan asal-usul kehidupan dengan hanya secara kebetulan. Filosofi ini berakar jauh di zaman lalu sekuno Yunani-kuno. Ide khayal Darwin dianut dan dikembangkan oleh kalangan ideologis dan politis tertentu dan teorinya menjadi sangat populer. Alasan utamanya adalah bahwa tingkat pengetahuan saat itu belum memadai untuk menyingkapkan bahwa skenario imajinasi Darwin itu sala. Ketika Darwin mengajukan asumsinya, disiplin ilmu genetika, mikrobiologi, dan biokimia belum ada. Jikalau ada, Darwin mungkin dengan mudah mengenali bahwa teorinya tidak ilmiah sama sekali, dan sehingga takkan ada yang berusaha mengajukan pernyataan omong kosong tersebut, informasi yang menentukan spesies telah ada dalam gen dan seleksi alamiah tidak mungkin menghasilkan spesies baru dengan mengubah gen. Pada masa bergaungnya buku darwin, ahli botani Austria yang bernama Gregor Mendel menemukan kaidah pewarisan sifat di tahun 1865. Meskipun kurag dikenal hingga akhir abad itu, penemuan Mendel menjadi sangat penting awal 1900-an dengan lahirnya ilmu genetika. Beberapa waktu kemudian, struktur gen dan kromosom itemukan. Pada 1950-an, penemuan molekul DNA, yang menghimpun informasi genetik, menempatkan teori evolusi pada krisis yang hebat, karena keluarbiasaaan informasi dalam DNA, tidak mungkin diterangkan sebagai kejadian kebetulan. Selauin semua perkembangan ilmiah ini, tidak ada bentuk-bentuk transisi, yang diduga menunjukkan evolusi organisme hidup secara bertahap dari yang primitif menuju spesies yang maju, yang pernah ditemukan walaupun dengan pencarian bertahun-tahun.
6. Existensi Tuhan
Kebenaran yang dicapai dengan melalui ilmu pengetahuan maupun filsafat hanya kebenaran yang bersifat subyektif, kebenaran yang bersifat relative bukan kebenaran yang hakiki. Karena perangkat yang digunakan untuk mencapai kebenaran tersebut diatas memiliki keterbatasan dan kelemahan. Panca indera dan akal manusia memiliki keterbatasan untuk mencapai pada kebenaran yang hakiki. Dengan mengakui relativitas manusia sebagai bagian dari alam, akan membawa konsekuensi logis, sesuatu yang tidak relative, yang berada “di luar” alam. Jadi “Ada” sesuatu sebelum dan sesudah adanya alam. Ada sesuatu yang tak terjangkau panca indera dan akalnya, “sesuatu” itulah yang mengawali dan mengakhiri kehidupan ini. “Sesuatu” yang memiliki super power, yang menciptakan alam semesta beserta isinya, yang mengelola dan mengatur ciptaannya. Terhadap “sesuatu” itu, orang menyebutnya dengan “Tuhan”. Banyaknya suku, bangsa, aliran, kepercayaan dan agama menimbulkan banyaknya konsepsi akan ketuhanan dari masing-masing komonitas. Untuk melakukan pendekatan akan pengetahuan mengenai Tuhan yang hakiki, kita perlu mengenal karakteristik dari Tuhan yang bisa diakui secara obyektif, sebagai kebenaran universal. Dari uraian bab sebelumnya dan pembahasan mengenai kelemahan ilmu pengetahuan dan filsafat, kita telah ketahui pengetahuan akan kebenaran yang dihasilkannya adalah subyektif, sifatnya relative. Maka Tuhan dalam arti sebenarnya tentu tidak memiliki sifat relative, Tuhan yang tidak terjangkau, yang tidak dikenal dengan akal pikiran manusia. Dia memiliki sifat Mutlak. Mutlak dalam segala kehendak dan perbuatannya. Siapapun tak ada yang dapat mempengaruhi kehendaknya, mempengaruhi perbuatannya, mempengaruhi keputusan-keputusannya. Karakteristik demikian disebut Absolut (mutlak). Karena karakternya mutlak, maka Dia tentu berbeda dengan keberadaan makhluknya. Tak ada sesuatu yang dapat menyerupainya. Menyerupai dalam seluruh sifat, dzat, kehendak dan perbuatannya. Karakteristik demikian disebut Distinct yang artinya berbeda. Karena Tuhan berbeda dengan yang lain, maka Dia juga memiliki karakter yang lain yaitu khas atau unique, artinya tak ada sesuatu yang menyamainya. Demikianlah, Tuhan dalam arti yang sebenarnya memiliki karakter Absolut (mutlak), Distinc (berbeda dengan lainnya) dan Unique (tak ada yang menyamainya). Inilah karakteristik Tuhan yang sebenarnya. Untuk mengenal existensi Tuhan, yang patut kita imani perlu kita teliti dan cermati, dengan cara menganalisis agama atau kepercayaan Ketuhanan yang ada, apakah memenuhi karakteristik Tuhan sebagaimana di atas.
oleh Islamic Science Group (ISG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar